The power of having eccentric mind


Kebetulan saat ini saya sedang WFH, sehingga dapat menggunakan kesempatan ini untuk menambah pengetahuan baru seperti membaca buku, belajar bahasa, dan tentunya melakukan refleksi diri lebih banyak lagi. Berhubung saat ini sedang berlangganan membaca, jadi saya dapat membaca banyak buku yang sudah tersedia sesuai dengan paket yang telah diambil. Setelah membaca buku-buku tersebut saya jadi ingin menuangkannya kedalam tulisan ini, untuk mengevaluasi pemikiran dan pengetahuan, serta dapat membagikannya kepada teman-teman. Saya berharap nantinya tulisan ini dapat berguna bagi orang yang membaca. 

Ada sebuah buku yang memiliki statement yang menarik, secara generalnya buku ini menceritakan dialog tentang seorang guru Filsafat dan pemuda yang memperdebatkan cara untuk hidup bahagia. Bagaimana seharusnya orang-orang menjalani hidup agar keluar dari ketidakbahagiaan yang dialaminya saat ini, pembahasan dalam buku ini sangat menarik karena banyak menggunakan gagasan dari Psikologi Adler dan berkaitan dengan pemikiran/ajaran Filsafat Yunani kuno. Contohnya di buku ini ada sebuah kasus dimana teman pemuda ini memiliki masalah dengan masalalu nya (memiliki Trauma) sehingga temannya ini terus mengunci diri dan tidak mau keluar karena berpikir bahwa semua orang diluar sana adalah orang yang kejam dan dapat melukai dirinya. Namun menurut teori Adler, kebanyakan dari manusia selalu hidup dalam teori aeteologi yang dimana selalu memiliki hubungan sebab dan akibat, bahkan gagasan Psikologi Sigmund Freud juga menggunakan teori sebab akibat ini dalam praktek Psikologi, dengan cara mengaitkan pengalaman di masa lalu dan menghubungkannya dengan dampak yang terjadi pada saat ini. 


Teori aeteologi tentunya lebih banyak diterima oleh masyarakat luas dan merupakan sebuah gagasan yang sangat menarik, namun Adler berkata seharusnya manusia yang sedang mengalami masalah dengan apa yang disebut dengan trauma, seharusnya hidup menggunakan cara pikir teleologi, teleologi adalah ajaran yang menerangkan bahwa segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Jadi jika di pandang dari teori ini, semua berfokus pada satu tujuan akhir, kejadian masalalu sama sekali tidak ada hubungannya dengan masa sekarang, yang terpenting adalah tujuan kita saat ini. Menurut gagasan Adler trauma secara definitif tidak diterima, ini adalah sebuah poin baru yang revolusioner. memang tidak dapat dipungkiri pengalaman masalalu sedikit banyak dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian manusia, namun apa yang terjadi pada diri kita saat ini tidak ditentukan oleh pengalaman di masalalu, yang dapat kita adopsi adalah bagaimana kita memaknai pengalaman-pengalaman tersebut, namun hal ini tidak menentukan akan menjadi orang seperti apa kita pada masa kini. 


Menurut sang pemuda tersebut, temannya mengunci diri dikarenakan memiliki trauma, sehingga sampai saat ini temannya selalu bersembunyi didalam cangkang, namun sang Guru Filsafat ini memiliki asumsi yang berbeda yaitu sang anak tersebut tidak mau keluar dari kamarnya dikarenakan ia memiliki tujuan untuk tidak keluar dari kamarnya. Ia terlalu takut untuk keluar karena sudah merasa aman di zona nyamannya. Jadi karena ia memiliki tujuan untuk tidak keluar dari kamar,maka ia menciptakan sendiri gelaja-gejala seperti mual, sakit perut dan sebagainya demi meraih tujuan utamanya yaitu untuk tidak keluar dari kamar. Tentunya gagasan ini tidak dapat begitu saja diterima oleh sang pemuda, dia memprotes “bagaimana bisa teman saya berpura-pura? mana mungkin ini adalah tujuannya? Dia benar-benar mau keluar akan tetapi kakinya tidak dapat melangkah dikarenakan trauma yang dialaminya dimasa lalu”. Layaknya pemuda tersebut, mungkin beberapa dari kita juga berpikir bahwa teori yang diberikan sang Filsuf sangat tidak relevan dan sedikit eksentrik, akan tetapi jika dipikirkan lebih dalam teori ini ada benarnya juga.


Biasanya banyak dari kita menciptakan alasan demi alasan untuk tidak melakukan suatu hal. Contohnya belasan tahun lalu, ketika saya baru pertama kali mendapatkan haid, keesokannya adalah pelajaran Matematika ( salah satu momok dalam kehidupan saya saat bersekolah ) entah mengapa apapun yang berhubungan dengan pelajaran matematika membuat saya merasa menjadi tidak semangat untuk bersekolah. Sehingga saat itu sakit perut yang sebenarnya bisa saya tahan, menjadi terasa sakit sehingga menjadi alasan untuk tidak masuk sekolah. Sebenarnya disini saya sudah memiliki tujuan, karena besok adalah pelajaran Matematika maka saya tidak mau masuk sekolah, sehingga saya menciptakan alasan-alasan tersebut demi mencapai tujuan utama saya. Coba renungkan pernahkah kalian menciptakan alasan-alasan seperti ini demi mencapai suatu tujuan?


Menurut Adler jika manusia bisa hidup dengan menggunakan cara pikir teleologi, maka dapat dengan mudah manusia keluar dari penderitaan, berfikirlah bahwa kejadian di masalalu adalah pengalaman yang dapat kau ambil maknanya, dan kehidupanmu pada saat ini tidak ditentukan oleh pengalaman-pengalamanmu tersebut, karena yang paling penting adalah fokus tujuan kita pada saat ini. Manusia jauh lebih kuat dari sistem sebab dan akibat, pengalaman yang diberikan orang lain pada masa lalu tidak menentukan akan menjadi apa kita pada masa kini, melainkan diri kita sendirilah yang menentukannya. 


Jika ingin hidup lebih bahagia maka berhentilah memuaskan ekspetasi orang lain. Terkadang manusia memiliki kecenderungan untuk selalu ingin diakui dan mendapatkan apresiasi atas apa yang ia lakukan karena dengan cara inilah orang dapat menghapus segala perasaan inferior yang dimilikinya. Banyak orang berfikir bahwa cara terbaik untuk diakui dan mendapatkan apresiasi adalah ketika ia memuaskan ekspetasi orang lain, padahal jika kita hidup dengan cara yang seperti itu sama saja kita menjalani kehidupan orang lain dan secara tidak langsung menghilangkan ke”aku”an didalam diri kita. Jika ingin memberikan kebaikan pada orang lain pikirkan kegunaannya untuk orang tersebut, jangan pernah mengharapkan imbalannya. Jika kita sudah mengharapkan imbalan tandanya kita sudah berekspetasi pada orang tersebut, yang terjadi adalah nantinya kita terjerat dalam lingkaran setan. Memberi hanya kalian ingin memberi, tidak lebih dari itu.


Hal ini juga dapat berkaitan dengan konsep Boundaries atau batasan dalam kehidupan, banyak orang tidak menetapkan batasan dalam berkehidupan atau bahkan tidak memahami apa itu konsep batasan sehingga tidak sedikit orang yang menghabiskan waktu,materi,energi yang dimilikinya untuk orang-orang yang sebenarnya tidak pantas mendapatkan hal-hal tersebut. Yang terjadi adalah diri kita sendiri yang merasa lelah dan terluka. Jika kalian selalu menjawab “ya” untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kalian lakukan, atau bahkan selalu mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain, bisa jadi ini adalah tanda bahwa anda seorang “people pleaser”. Maka didalam tulisan ini selain saya akan menjelaskan mengenai teori pembagian tugas milik Adler, saya lebih dulu ingin membahas mengenai apa itu batasan dan mengapa sangat penting untuk menerapkan konsep batasan didalam kehidupan. 


Boundaries secara general adalah limit yang kita buat mengenai apa yang bisa di toleransi dan apa yang tidak, atau apakah itu baik atau tidak baik untuk saya. Dalam dunia nyata kita dapat dengan mudah melihat batasan, contohnya saja rumah, pagar, tembok serta tanda-tanda larangan. Tentunya semua tanda ini memiliki pesan yang sama yaitu “THIS WHERE MY PROPERTY BEGINS” the owner of the property is legally responsible for what happens on his or her property and non-owners are not responsible for the property. Banyak dari kita yang masih bingung dan tidak jelas dalam menetapkan parameter batasan milik sendiri, sehingga terkadang orang lain melampaui batas-batas tersebut dan pada akhirnya kitalah yang akan menyakiti diri sendiri. 


Ketika ingin menetapkan batasan dalam hidup pasti akan muncul ketakutan didalam diri kita, biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Jika menetapkan batasan dalam diri bukankah berarti kita adalah makhluk yang egois? Bagaimana untuk bilang tidak kepada orang lain? Saya lebih baik berkata ya untuk tetap menjaga hubungan baik dengan tersebut. Lantas bagaimana cara untuk menyampaikan batasan kita dengan baik dan benar?


Yang mau saya tekankan disini adalah memiliki batasan bukan berarti anda membuat tembok tinggi  layaknya dinding yang tidak dapat ditembus oleh siapapun. Akan tetapi batasan ini dibuat untuk melindungi diri kita dari toxic relationship, we need to keep things that will nurture us inside our fences and keep things that will harm us outside, in short, boundaries help us keep the good in and the bad out (they guard our treasures) so people will not steal them, they keep the pearls inside and the pigs outside. Our fences need gates in them. Menetapkan batasan bukan untuk melindungi diri sendiri saja melainkan juga melindungi batasan yang dimiliki oleh orang lain, menetapkan batasan sama sekali tidak egois justru ini adalah cara untuk membangun hubungan yang sehat, entah itu dalam keluarga,pasangan,pertemanan maupun pekerjaan. 


How to set healthy boundaries? 


So the first thing is self awareness. Kita harus dapat mengenal diri sendiri jauh lebih dalam lagi, tidak ada orang yang jauh lebih mengenal siapa kita, kecuali diri kita sendiri. Jadi cobalah untuk bertanya kepada diri sendiri “what’s my preference?” “what’s my desire?” Banyak orang bahkan tidak pernah bertanya kepada dirinya sendiri, sehingga seringkali tidak mengetahui apa yang mereka suka dan apa yang tidak mereka suka, yang akan terjadi adalah nantinya orang-orang lain akan melewati batas-batas tersebut. Jika kalian tidak memutuskannya sendiri, maka orang lain yang akan memutuskan untuk  kalian, disinilah masalah dimulai dan kita kehilangan kepemilikan terhadap diri sendiri. 


Setelah mengenali diri kalian sendiri, langkah selanjutnya adalah mengkomunikasikan batasan-batasan tersebut, jika kalian tidak mengkomunikasikan batasan tersebut maka orang lain tidak akan pernah mengetahuinya, jadi ekspresikanlah opini kalian, meskipun mungkin kalian merasa tidak nyaman atau takut dalam menyampaikan kejujuran tersebut. Sampaikanlah perasaan kalian dengan cara yang baik dan jelas, kalian tidak perlu menyampaikannya dengan cara yang kasar, ketika kalian menyampaikannya dengan baik pasti orang lain akan mengerti, jika orang tersebut marah atau tidak mau menghormati batasan yang kalian miliki, itu adalah masalah mereka dan samasekali bukan masalah kita, kita tidak bertanggung jawab atas emosi yang dimiliki orang lain, ia yang harus bertanggung jawab atas emosinya sendiri, begitupun sebaliknya, yang terpenting kalian telah mengkomunikasikannya, sehingga seharusnya kalian dapat berkompromi dengan orang tersebut dan mendapatkan solusi terbaik dan dapat hidup bahagia dengan saling menghormati. 


Menetapkan batasan berati juga menghormati batasan yang dimiliki orang lain, jangan bertindak tanpa memikirkan orang lain, untuk memahaminya kita perlu mengenal gagasan dalam teori Psikologi Adler yang dikenal sebagai teori pembagian tugas. Masalah dalam kehidupan ini biasanya terjadi karena masalah interpersonal, masalah ini biasanya disebabkan oleh gangguan terhadap tugas orang lain, maupun gangguan dari orang lain. Namun tidak mungkin kita hidup di dunia ini tanpa orang lain, maka untuk itu ada baiknya kita mengenal teori pembagian tugas. 


Dalam buku tersebut di contohkan kasus dimana seorang anak tidak mau belajar dengan baik sehingga nilai akademiknya kurang, sang Filsuf bertanya kepada pemuda tersebut “jika kau menjadi orang tua dari anak itu, apa yang akan kau lakukan?” Sang pemuda menjawab dengan percaya diri, tentunya aku akan memaksanya untuk belajar, mencarikan tempat bimbingan belajar terbaik agar anak itu dapat memiliki nilai yang baik. “Jika kau melakukan hal tersebut, sama saja kau mengganggu tugas anak itu”


Mendengar hal ini pemuda tersebut kebingungan karena yang ia tau tugas orang tua adalah menyuruh anaknya untuk belajar sehingga anaknya dapat mendapatkan nilai yang baik. Namun sang filsuf menjelaskan jika kau menjadi seorang anak dan tidak mau belajar, dan pada saat itu orang tuamu memaksamu untuk belajar apakah kamu tidak merasa tertekan dan pada akhirnya berontak? Tugas orang tua adalah membimbing anaknya untuk belajar dan belajar adalah tugas sang anak, orang tua boleh mencampurinya apabila sang anak yang meminta bantuan, ketika anak meminta bantuan tentu sudah sepantasnya orang tua membimbingnya, jika tidak dimintai bantuan dan kau mulai melakukan tugas sang anak, sama saja kau sudah menganggu tugas orang lain. 


Untuk mengetahui tugas itu milik siapa, kita harus mempertimbangkannya dari prespektif “tugas siapakah itu?” coba pikirkan siapa yang menerima hasil akhir yang mungkin muncul akibat pilihan yang diambil. Contohnya jika sang anak memilih untuk tidak belajar, dirinya sendiri yang akan mendapatkan nilai yang tidak baik, bukan orang tua yang mendapatkan nilai tersebut. Hal seperti ini tentunya juga dapat diterapkan pada kasus-kasus lainnya di dalam hubungan interpersonal. Sebelum melakukan sesuatu coba pikirkan “tugas siapakah ini?” 


Belajarlah dari cerita Alexander Agung yang mengurai simpul Gordia dengan cara yang berbeda, ia berkata bahwa takdir seseorang tidak ditentukan oleh sebuah legenda melainkan dengan tebasan pedangnya sendiri, sampai kini namanya dikenal sebagai penakluk seluruh wilayah, yang kini dikenal sebagai Timur Tengah dan Asia Barat. Demikian juga tulisan-tulisan diatas ini, ketika kita baca memang memiliki opini-opini yang lumayan eksentrik, akan tetapi jika ingin mengalami perubahan yang besar, tentunya kalian harus melakukan hal-hal yang tidak biasa namun revolusioner dengan pemikiran-pemikiran yang tidak biasa ini. Yang paling terpenting adalah tumbuhkan kepekaan terhadap diri sendiri, jika kita tidak mencintai diri sendiri mustahil kita dapat mencintai orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS PAPER FINAL PROJECT ( MARUGAME UDON )

Confucius and Lao Zi